Calon Tunggal Bukti Hilangnya Kemandirian dan Pengkaderan Partai Politik di Gresik

A Fajar Yulianto (Direktur YLBH Fajar Trilaksana)

oleh : A Fajar Yulianto (Direktur YLBH Fajar Trilaksana)

BeritaGresik.com – Hiruk pikuk pilkada serentak dalam rangka melaksanakan amanat pasal 201 ayat (8) Undang Undang Nomor 10 tahun 2016 yang mengatur tentang pelaksanaan Pilkada Serentak di tahun 2024, menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional, akan dilakukan untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia.

Suasana Pilkada dengan satu pasangan calon melawan kotak kosong merupakan fenomena demokrasi terkini. Dari catatan KPU Pusat per tanggal 4 September 2024 saat ditutupnya pendaftaran Bakal Calon, ternyata ada 41 kabupaten dan Kota yang hanya terdapat satu pasangan Calon. DiJawa Timur saja setidaknya ada 5 (lima) Kabupaten dan Kota yaitu Trenggalek, Ngawi, Gresik, Pasuruan dan Kota Surabaya.

Hasil Rapat bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi II DPR RI, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPPU) tanggal 10 September 2024 beberapa waktu lalu, sepakat pada dasarnya Pasal 54 d UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah pada pokok intinya penegasan jika perolehan suara dapat dinyatakan sah sebagai pemenang oleh KPU, sedangkan perolehan kurang dari 50 (lima puluh) persen suara, maka kandidat yang kalah bisa mendaftar kembali dalam pemilihan baru tahun berikutnya, (pilkada ulang) dan sebelum masa pemilihan sampai waktunya maka pemerintah akan menunjuk Pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota.

Dinamika pasangan Calon Tunggal dengan melawan Kotak Kosong tidak berarti akan terjadi kekosongan dan hilangnya atau matinya Demokrasi, artinya Demokrasi tetap akan hidup.

Kotak kosong ada juga karena perintah undang-undang, pemerintah menyediakan kotak kosong yang di tampilkan dalam satu form Kertas Suara, itu artinya dipersilahkan dan diberikan hak bagi Rakyat untuk menjalankan Demokrasi ini untuk memilih sesuai aspirasi pilihannya.

Nah bagaimana jika aspirasinya dianggap atau merasa tidak sesuai ketersediaan calon yang ada, mengingat calon Tunggal ? apakah mencoblos Kotak Kosong adalah sebuah pelanggaran?. Tentu tidak. Hal berbeda dengan Golput (golongan putih), atau tidak menentukan pilihannya sama sekali dan lagi pula form (gambar fisual) Golput juga tidak tersedia di Kertas Suara.

Pilkada adalah sarana berdemokrasi bagi setiap warga negara dan merupakan hak warga negara yang dijamin tegas oleh konsitusi,

Didalamnya ada hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).

Dapat diambil kesimpulan bahwa yang namanya persamaan kesempatan secara konstitusi adalah termasuk didalamya hak untuk “memilih” dan dipilih. Namun dasar memilih sesuai aspirasi yang bijak dan tidak sekedar suka dan tidak suka (like & dislike).

Fenomena pilkada hanya terdapat satu pasangan calon ini tidak melunturkan Demokrasi, dan tidak menghilangkan nilai demokrasi, karena hak warga masih dapat di fasilitasi dengan gambar fisual Kotak Kosong pada kertas Suara, yang hilang adalah kemandirian Partai Politik dan lemahnya proses Kaderisasi di internal Partai. Artinya dekade akhir ini kebanyakan Partai gagal melahirkan kader kader internal yang tangguh siap tarung, siap kualitas dan siap logistik sehinggan dengan mudah terkuasai dan tersandra oleh nilai nilai diluar platform partai.

Diperkuat diduga kuat kebanyakan Anggota Legislatif itu hanya memikirkan bagaimana mengamankan Kursi pribadi dari pada mengamankan eksistensi dan marwah Partainya sehingga dampak platfom partai sering terlupakan dan upaya meraih kekuasaan bertindak untuk dan atas nama kepentingan platform partai demi kepentingan rakyatpun juga menjadi terkesampingkan.

Akhirnya demi alasan Kondusifitas dan konsisten dalam menjalankan program program pembangunan berkelanjutan disertai argumen efektif efisien dalam khususnya pembiayaan Pemilu agar tidak dua kali anggaran dan ini uang rakyat pula yang akan dihamburkan demi terselenggaranya Pilkada Ulang. Maka alasan logis ini sebagai materi pokok strategis dan sangat efektif disampaikan dalam kampanye bagi pasangan calon tunggal. Karena tidak perlu adu program dan tarung kemampuan dengan pihak lawan secara riil, tidak ada program pembanding karena lawanya hanyalah kotak kosong.

Ada benarnya kita perlu menyetujui alasan logis diatas dengan catatan, benar dan tepat cipta kondisi, kondufisitas, konsistensi, keberlanjutan program pembangunan, dan terpenting efektif efisien anggaran agar tidak terbuang untuk perhelatan Pilkada kedua (ulang), maka perlu disikapi secara bijaksana dan menghilangkan rasa ego.

Perlunya Calon Tunggal ini lakukan kontrak politik dengan rakyat, semisal contoh sederhana uang anggaran jika untuk pemilu ulang lebih baik disalurkan untuk kepentingan kesejateraan rakyat diwaktu Pemerintahan depan, tentu seiring pelaksanaan program pembangunan , serta program strategis berbasis kerakyatan/ kesejahteraan masyarakat yang telah diperjanjikan.

Artinya cukup Pilkada Satu Kali , Dukung Dan Menangkan Calon Tunggal, kita lakukan kemudian dengan super ekstra ketat dalam pengawasan bersama sama teman Lembaga Swadaya Masyarakat / Lembaga para penggiat anti Korupsi, Teman teman Insan Pers, penggiat good governance, tentu pihak Legislatif sangat punya peran besar tanggungjawab moral atas kebersihan terhadap jalanya roda pemerintahan kedepan.

Justru inilah menurut saya berdemokrasi secara bertanggungjawab, karena kita selamatkan uang rakyat dari hanya sekedar perhelatan pilkada kedua, hindari pemborosan anggaran dan kita atensi secara optimal mengawal pemerintahan menuju tata kelola dengan prinsip prinsip good Governance dapat terwujud.

Catatan penting disisi lain, jika hal ini cukup Pilkada satu kali menangkan calon tunggal, maka dari diri pasangan calon Tunggal harus juga berani open, terbuka saran masukkan dalam pengawasan yang super ketat, bukan justru anti kritik dan jauhkan budaya dendam, yang semua itu tentu kritik tajam pasti berasal dari yang semula kurang aspiratif pada pasangan yang bersangkutan. Ini menjadi cambuk pedih yang harus disikapi positif demi kemajuan dan pembelajaran evaluasi pemerintah.