BeritaGresik.com – Suasana pantai yang indah berpadu dengan rindangnya pepohonan kelapa membuat suasana pantai jherat lanjheng begitu sejuk. Pantai yang berlokasi di dusun Tanjunganyar desa Lebak kecamatan Sangkapura Pulau Bawean ini, semakin digandrungi oleh para wisatawan domistik maupun dari luar Pulau Bawean.
Berwisata ke pantai Jherat lanjheng tidak hanya sekedar menikmati indahnya sunset di waktu senja. Keberadaan Jherat Lanjheng atau makam panjang yang ada di lokasi pantai itu juga mengingatkan kita pada sebuah kisah legeda Aji Saka, seorang ksatria yang pertama kali membabat alas Pulau Jawa.
Warga setempat meyakini bahwa makam dengan panjang 12 meter yang ada di pantai Jherat Lanjheng itu merupakan makan Dora salah seorang punggawa atau ajudan Aji Saka yang selalu setia mendampingi Aji Saka ketika mengembara.
Aji Saka merupakan perumus aksa Jawa Honocoroko, yaitu aksara tradisional yang sudah lama sekali dipakai orang Jawa. Aksara ini bukan cuma digunakan untuk menulis saja, melainkan syarat dengan makna filosofi yang sangat dalam dan menjadi cerminan budaya masyarakat Jawa tempo dulu.
Konon, dalam perjalanan pengembaraannya, Aji Saka yang ditemani dua orang Punggawanya yang setia yaitu Dora dan Sembada sempat singgah cukup lama di kawasan Pantai Jherat Lanjheng. Suasa Pulau Majeti (sebutan Pulau Bawean Tempo dulu) yang indah dan damai membuat para ksatria dari India itu betah berlama-lama di Pulau itu.
Hingga pada akhirnya Aji Saka dan Dora harus melanjutkan perjalannya ke Jawa Dwipa ( Pulau Jawa), sementara Sembada ditugasi menjaga benda pusaka sakti milik Aji Saka yang sengaja ditinggal di kawasan Jherat Lanjheng Pulau Bawean.
Sembada diberi amanat menjaga Pusaka tersebut dengan segenap jiwa dan raga, dan tidak boleh jatuh ke tangan orang lain kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya.
Sementara itu ketika Aji Saka dan Dora tiba di Pulau Jawa harus menyelamatkan rakyat Kerajaan Medang Kamulan dari kekejaman rajanya, Dewata Cengkar, yang gemar memakan daging manusia. Tidak ada satupun rakyat Medang Kamulan sanggup melawan Prabu Dewata Cengkar yang sakti mandraguna.
Mengetahui calon lawannya yang memiliki kesaktian tinggi, Aji Saka berfikir akan melawan Dewata Cengkar menggunakan pusakanya yang yang ditinggal bersama Sembada. Maka Dora diperintahkan mengambil Pusaka di tangan Sembada.
Dari situ awal mula terjadi perselisihan antara Dora dan Sembada, sehingga mereka harus bertarung mempertahankan apa diamanatkan kepada mereka oleh Aji Saka. Hingga akhirnya keduanya tewas bersimbah dara.
Setelah sekian lama Dora tak kunjung datang, Aji Saka akhirnya menyusul dan didapati kedua punggawa setianya itu telah tewas, Aji Saka menyadari bahwa mereka bertarung karena mempertahankan amanah masing-masing. Dan untuk mengenang kesetiaan para punggawanya itu, maka Aji Saka menulis sebuah prasasti HONOCORO pada sebongkah batu yang letaknya tak jauh dari lokasi makam Dora yang ada di Pantai Jherat Lanjheng.
Kepala Desa Lebak, Fadal mengatakan warga di desanya meyakini bahwa makam Jherat Lanjheng merupakan makam Dora, sedangkan makam Sembada berada di kawasan pemakaman umum tak jauh dari lokasi pantai Jherat Lanjheng.
Selain kebedaan kedua makam panjang di desanya , dipertegas lagi dengan adanya prasasti yang bertuliskan Honocoroko dengan huruf Jawa Kono. Namun sangat disayangkan prasti tersebut telah hancur karena digunakan sebagai pondasi jembatan oleh warga setempat.
“Prasasti itu dulu ada di pinggir jalan, dan sampai sekarang masih ada orangnya yang ikut memecah batu tersebut, itu terjadi sekitar tahun 1980 an, “Cerita Fadal, Sabtu (13/09/2024).
Saat ini Pemerintah desa setempat terus melakukan inovasi terhadap Jherat Lanjheng dengan membangun sejumlah fasilitas, seperti musholah, ruang pertemuan yang terbuat dari bambu, spot selfie dan lain-lain. (abr)